Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Pertama-tama saya akan
mengucapkan puja dan puji syukur kehadirat Allah Swt yang telah memberikan
rahmat dan karunianya pada saya sehingga saya dfapat menyelesaikan artikel ini.
Sholawat serta
salam selalu tercurah pada nabi besar Muhammad SAW.
Pada artikel ini saya akan
menerangkan mengenai tata cara jual beli yang sesuai dengan apa yang sudah
disyari’atkan dalam islam. Berikut adalah penjelasannya :
A. Pengertian Jual Beli
1. Menurut bahasa
Jual beli secara bahasa adalah memberikan
sesuatu dengan imbalan sesuatu atau menukarkan sesuatu dengan sesuatu.
2. Menurut syara’
Secara syara’ jual beli diartikan sebagai
pertukaran harta benda dengan alat pembelian yang sah atau dengan harta lain
dengan ijab dan qabul.
Dasarnya adalah :
وَاَحَلَّاللّٰهُالْبَيْعَوَحَرَّمَالرِّبٰوا
Artinya
: “ Dan Allah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba. “
(Q.S.
Al-Baqarah/ 2 :275)
Mengenai
arti jual beli menurut syara’, sebagian ulama lain memberi pengertian :
a. Menurut Ulama Hanafiyah :
“pertukaran harta
(benda) dengan harta berdasarkan cara khusus (yang dibolehkan).”
(Alauddin al-Kasani,
Bada’i ash Shana’l fi Tartib asy Syara’i, juz 5, hal. 133).
b. Menurut Ibnu Qudamah :
“Pertukaran harta
dengan harta untuk saling menjadikan milik.”
(Ibnu Qudamah,
al-Mughni, juz 3, hal.559)
c. Menurut Imam Nawawi dalam kitab al-majmu :
“pertukaran harta
dengan harta untuk kepemilikan.”
(Muhammad asy-Syarbini,
Mughni al-Muhtaj, juz 2, hal.2)
d. Menurut Ilmu Fiqih
Jual beli menurut
fiqih adalah menukar suatu barang dengan barang yang lain dengan rukun dan
syari’at tertentu.
B. Hukum Jual Beli
Hukum jual beli adalah mubah (boleh atau halal) dan
menjadi wajib jika seseorang hanya bisa mencukupi kebutuhan hidupnya dengan
melakukan jual beli.
Sesuai dengan firman Allah Swt :
يٰٓأَيُّهَاالَّذِيْنَءَامَنُوْالَاتَأْكُلُوْٓااَمْوَالَكُمْبَيْنَكُمْبِالْبَاطِلِاِلَّٓااَنْتَكُوْنَتِجَارَةً
عَنْتَرَاضٍمِّنْكُمْ
عَنْتَرَاضٍمِّنْكُمْ
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu makan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan
perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu.”
(QS.An-nisa/4 : 29)
Hukum jual beli itu ada 4,
yaitu :
1. Mubah (boleh), merupakan hukum asal jual beli;
2. Wajib, apabila menjual merupakan keharusan, misalnya
menjual barang untuk melunasi hutang;
3. Sunnah, misalnya menjual barang kepada sahabat atau orang
yang sangat memerlukan barang yang dijual;
4. Haram, misalnya menjual barang yang dilarang untuk
diperjualbelikan. Menjual barang untuk maksiat, jual beli untuk menyakiti seseorang,
jual beli untuk merusak harga pasar, dan jual beli dengan tujuan merusak
ketentraman masyarakat.
C. Rukun Jual Beli
1. Menurut ulama Hanafiah
Rukun jual beli adalah ijab qabul yang
menunjukan pertukaran barang secara ridha baik ucapan maupun perbuatan.
2. Menurut Jumhur Ulama
Rukun jual beli ada 4, yaitu :
a. Akad (ijab qabul)
Akad (ijab qabul) ialah ikatan kata antara
penjual dan pembeli. Ijab qabul boleh dilakukan secara lisan maupun tulisan;
b. Adanya penjual (bai’) dan pembeli (mustari);
c. Adanya objek (ma’kud alaih) atau barang yang diperjual
belikan;
d. Alat penukar dalam jual beli
D. Syarat Jual Beli
1. Akad (ijab qabul)
Dalam jual beli harus ada yang namanya akad
(ijab qabul) antara penjual dan pembeli. Namun, dalam hal akad ini para ulama
berbeda pendapat antara lain sebagai berikut :
a. Madzhab Hambali
Menurut madzab ini syarat shighat (ijab
qabul) ada 3 macam, yaitu :
1) Pembeli dan penjual berada ditempat yang sama.
2) Antara ijab dan qabul tidak ada pemisah yang
menggambarkan penolakan.
3) Tidak dikaiotkan dengan sesuatu yang tidak ada
hubungannya dengan akad.
b. Madzhab Syafi’i
“Tidak sah akad jual beli kecuali dengan
shighat (ijab qabul) yang diucapkan.”
(Al-Jazari, hal. 155)
Syarat shighat menurut madzhab Syafi’i adalah
:
1) Pembeli dan penjual saling berhadapan;
2) Ditujukan pada seluruh badan yang akad.
Tidak sah apabila berkata, “saya menjual
barang ini kepada kepala atau tangan kamu.”;
3) Qabul diucapkan oleh orang yang dituju dalam ijab;
4) Harus menyebutkan barang dan harga;
5) Pada saat mengucapkan shighat, harus disertai dengan niat
(maksud);
6) Pengucapan ijab dan qabul harus dilakukan dengan
sempurna;
7) Antara ijab dan qabul tidak boleh diselingi atau dijeda
dengan waktu yang terlalu lama;
8) Lafadz ijab dan qabul tidak boleh berubah;
9) Tidak dikaitkan dengan sesuatu dan tidak dikaitkan dengan
waktu.
c. Imam Maliki
“bahwa jula beli itu telah sah dan dapat
dilakukan secara dipahami saja.”
(Al-Qurthubi, hal. 128).
Syarat shighat menurut madzhab Maliki adalah
:
1) Tempat berlangsungnya akad harus bersatu;
2) Pengucapan ijab dan qabul tidak boleh terpisah.
2. Baligh dan Berakal
Artinya antara penjual dan
pembeli keduanya sudah dewasa, karena itu anak-anak tidak sah melakukan jual
beli , kecuali jual beli yang ringan.
Allah Swt berfirman :
وَلَاتُؤْتُواْالسُّفَهَٓاءَأَمْوَالَكُمُالَّتِيجَعَلَاللَّهُلَكُمْقِيٰمًا
Artinya : “Dan janganlah kamu serahkan kepada
orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam
kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan.”
(QS.An-nisa/4 :5)
Maksud orang yang belum sempurna akalnya
adalah anak yatim yang belum baligh atau orang dewasa yang jahil (tidak dapat
mengatur harta bendanya).
3. Beragama Islam
Syarat ini dikhususkan untuk
pembeli dalam benda-benda tertentu, misalnya penjualan budak muslim kepada
orang kafir dikhawatirkan budak muslim tersebut akan direndahkan atau dihina
oleh majikannya karena itu pembeli budak muslim tersebut harus beragama islam.
Hal ini tertuang dalam
firman Allah Swt :
Artinya : “Allah tidak akan memberi jalan kepada orang
kafir untuk mengalahkan orang-orang beriman.”
(QS.An-nisa/4 :141)
4. Suka sama suka
Antara penjual harus saling
suka sama suka (rela/ridho) tanpa adanya paksaan. Penjual rela atau ridho untuk
menjualkan barangnya tersebut kepada pembeli/rela dengan harga yang ditentukan,
dan pembeli juga rela membeli barang dari penjual tersebut tanpa adanya paksaan
dari si penjual.
Sesuai dengan firman Allah
Swt :
يٰٓأَيُّهَاالَّذِيْنَءَامَنُوْالَاتَأْكُلُوْٓااَمْوَالَكُمْبَيْنَكُمْبِالْبَاطِلِاِلَّٓااَنْتَكُوْنَتِجَارَةً
عَنْتَرَاضٍمِّنْكُمْ
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
makan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan
yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu...”
(QS. An-nisa/4 :29)
5. Adanya obyek jual beli (Ma’kud alaih)
Dalam kegiatan jual beli
pasti ada obyek yang diperjualbelikan entah itu barang ataupun jasa. Dalam
islam, obyek jual beli telah diatur menurut ketentuan-ketentuan islam. Obyek
tersebut boleh diperjualbelikan apabila telah memenuhi syarat sah yang telah
ditentukan. Syarat sah obyek yang diperjualbelikan adalah sebagai berikut :
a. Barang yan diperjualbelikan merupakan barang yang suci
dan bukan barang haram;
b. Barang tersebut berfaedah/bermanfaat;
c. Barang tersebut kepunyaan sendiri atau penjual telah
diberi kuasa atas barang tersebut oleh pemiliknya;
d. Barang tersebut diketahui secara jelas oleh penjual dan
pembeli dalam kadar, jenis, dan sifat-sifatnya;
e. Barang tersebut bisa diserahkan baik dalam waktu cepat
atau lambat.
E. Hukum dan sifat jual beli
Jual beli memiliki sifat-sifat tertentu. Dalam hal sifat
dan hukum jual beli, ada perbedaan pendapat dikalangan ulama, di antaranya
sebagai berikut :
1. Menurut Jumhur Ulama ada 2 macam hukum dan sifat jual
beli, yaitu :
a. Jual beli sah (shahih)
Yaitu jula beli yang
memenuhi ketentuan syara’ yang berlaku dalam agama islam;
b. Jual beli tidak sah
Yaitu jual beli yang tidak
memenuhi salah satu rukun dan syarat jual beli.
2. Menurut Ulama Hanafiyah, yaitu :
a. Jual beli shahih
Adalah jual beli yang
memiliki ketentuan syari’at islam;
b. Jual beli batal
Yaitu jual beli yang tidak
memenuhi salah satu rukun/yang tidak sesuai dengan syari’at islam;
c. Jual beli fasid (rusak)
Yaitu jual beli yang sesuai
dengan ketentuan syari’at pada asalnya, tetapi tidak sesuai dengan syari’at
pada sifatnya.
F. Jual beli yang dilarang dalam agama islam
1. Jual beli yang tidak sah karena kurang syarat dan
rukunnya adalah sebagai berikut :
a. Jual beli yang menggunakan sistem ijon (belum jelas
barangnya, keadaan barangnya, belum sempurna, dsb;
b. Jual beli hewan, tetapi hewan tersebut masih dalam
kandungan induknya;
c. Jual beli sperma binatang jantan yang belum diketahui
kadarnya. Adapun apabila meminjamkan hewan jantan untuk dikawinkan dengan hewan
betina diperbolehkan atau bahkan sangat dianjurkan;
d. Jual beli barang yang belum ada ditangan, artinya barang
yang diperjualbelikan masih terdapat pada penjual pertama;
e. Jual beli benda yang najis.
2. Jual beli sah tetapi terlarang, sebagai berikut :
a. Kegiatan Jual beli yang dilakukan pada saat shalat
jum’at;
b. Jual beli dengan niat untuk menimbun barang dan dijual
ketika masyarakat membutuhkan (ikhtikar);
c. Membeli dengan menghadang penjual di jalan, hal
dimaksudkan agar si penjual tidak mengetahui
harga di pasar saat itu;
d. Membeli barang yang masih dalam tawaran orang lain;
e. Jual beli dengan menipu, seperti mengurangi timbangan;
f. Jual beli alat-alat yang digunakan untuk melakukan
maksiat.
Demikianlah penjelasan
mengenai cara melakukan jual beli yang benar menurut syari’at islam, mudah
–mudahan dapat bermanfaat dan bisa menambah wawasan keislaman bagi yang membaca
artikel ini. Jika ada kesalahan dalam penulisan, tata bahasanya, dan
sumber-sumber atau dalil-dalil mengenai jual beli saya mohon maaf.
Wassalamu’alaikum
warahmatullahi wabarakatuh.
Sumber :
§ Al-Islam
2(muamalah dan akhlak) karya A. Zainuddin, S. Ag. dan Muhammad Jamhari, S. Ag.
§ Alauddin
al-Kasani, Bada’i ash Shana’l fi Tartib asy Syara’i, juz 5.
§ Ibnu
Qudamah, al-Mughni, juz 3.
§ Muhammad
asy-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, juz 2.
§ Kitab
Al-Jazari, hal. 155
§ Al-Qurthubi,
hal. 128