Sabtu, 11 Februari 2017

PENJELASAN LENGKAP MELAKUKAN KEGIATAN JUAL BELI SESUAI DENGAN SYARI’AT ISLAM


Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Pertama-tama saya akan mengucapkan puja dan puji syukur kehadirat Allah Swt yang telah memberikan rahmat dan karunianya pada saya sehingga saya dfapat menyelesaikan artikel ini.
 Sholawat serta  salam selalu tercurah pada nabi besar Muhammad SAW.
Pada artikel ini saya akan menerangkan mengenai tata cara jual beli yang sesuai dengan apa yang sudah disyari’atkan dalam islam. Berikut adalah penjelasannya :

A.   Pengertian Jual Beli
1.    Menurut bahasa
Jual beli secara bahasa adalah memberikan sesuatu dengan imbalan sesuatu atau menukarkan sesuatu dengan sesuatu.
2.    Menurut syara’
Secara syara’ jual beli diartikan sebagai pertukaran harta benda dengan alat pembelian yang sah atau dengan harta lain dengan ijab dan qabul.
Dasarnya adalah :

 وَاَحَلَّاللّٰهُالْبَيْعَوَحَرَّمَالرِّبٰوا  
 
Artinya : “ Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. “
(Q.S. Al-Baqarah/ 2 :275)
                                Mengenai arti jual beli menurut syara’, sebagian ulama lain memberi pengertian :
a.    Menurut Ulama Hanafiyah :
“pertukaran harta (benda) dengan harta berdasarkan cara khusus (yang dibolehkan).”
(Alauddin al-Kasani, Bada’i ash Shana’l fi Tartib asy Syara’i, juz 5, hal. 133).
b.    Menurut Ibnu Qudamah :
“Pertukaran harta dengan harta untuk saling menjadikan milik.”
(Ibnu Qudamah, al-Mughni, juz 3, hal.559)
c.    Menurut Imam Nawawi dalam kitab al-majmu :
“pertukaran harta dengan harta untuk kepemilikan.”
(Muhammad asy-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, juz 2, hal.2)
d.    Menurut Ilmu Fiqih
Jual beli menurut fiqih adalah menukar suatu barang dengan barang yang lain dengan rukun dan syari’at tertentu.

B.   Hukum Jual Beli
Hukum jual beli adalah mubah (boleh atau halal) dan menjadi wajib jika seseorang hanya bisa mencukupi kebutuhan hidupnya dengan melakukan jual beli.
Sesuai dengan firman Allah Swt :

يٰٓأَيُّهَاالَّذِيْنَءَامَنُوْالَاتَأْكُلُوْٓااَمْوَالَكُمْبَيْنَكُمْبِالْبَاطِلِاِلَّٓااَنْتَكُوْنَتِجَارَةً

عَنْتَرَاضٍمِّنْكُمْ 
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu makan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu.”
(QS.An-nisa/4 : 29)

Hukum jual beli itu ada 4, yaitu :
1.    Mubah (boleh), merupakan hukum asal jual beli;
2.    Wajib, apabila menjual merupakan keharusan, misalnya menjual barang untuk melunasi hutang;
3.    Sunnah, misalnya menjual barang kepada sahabat atau orang yang sangat memerlukan barang yang dijual;
4.    Haram, misalnya menjual barang yang dilarang untuk diperjualbelikan. Menjual barang untuk maksiat, jual beli untuk menyakiti seseorang, jual beli untuk merusak harga pasar, dan jual beli dengan tujuan merusak ketentraman masyarakat.

C.   Rukun Jual Beli
1.    Menurut ulama Hanafiah
Rukun jual beli adalah ijab qabul yang menunjukan pertukaran barang secara ridha baik ucapan maupun perbuatan.
2.    Menurut Jumhur Ulama
Rukun jual beli ada 4, yaitu :
a.    Akad (ijab qabul)
Akad (ijab qabul) ialah ikatan kata antara penjual dan pembeli. Ijab qabul boleh dilakukan secara lisan maupun tulisan;
b.    Adanya penjual (bai’) dan pembeli (mustari);
c.    Adanya objek (ma’kud alaih) atau barang yang diperjual belikan;
d.    Alat penukar dalam jual beli
D.   Syarat Jual Beli
1.    Akad (ijab qabul)
Dalam jual beli harus ada yang namanya akad (ijab qabul) antara penjual dan pembeli. Namun, dalam hal akad ini para ulama berbeda pendapat antara lain sebagai berikut :
a.    Madzhab Hambali
Menurut madzab ini syarat shighat (ijab qabul)  ada 3 macam, yaitu :
1)    Pembeli dan penjual berada ditempat yang sama.
2)    Antara ijab dan qabul tidak ada pemisah yang menggambarkan penolakan.
3)    Tidak dikaiotkan dengan sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan akad.
b.    Madzhab Syafi’i
“Tidak sah akad jual beli kecuali dengan shighat (ijab qabul) yang diucapkan.”
(Al-Jazari, hal. 155)
Syarat shighat menurut madzhab Syafi’i adalah :
1)    Pembeli dan penjual saling berhadapan;
2)    Ditujukan pada seluruh badan yang akad.
Tidak sah apabila berkata, “saya menjual barang ini kepada kepala atau tangan kamu.”;
3)    Qabul diucapkan oleh orang yang dituju dalam ijab;
4)    Harus menyebutkan barang dan harga;
5)    Pada saat mengucapkan shighat, harus disertai dengan niat (maksud);
6)    Pengucapan ijab dan qabul harus dilakukan dengan sempurna;
7)    Antara ijab dan qabul tidak boleh diselingi atau dijeda dengan waktu yang terlalu lama;
8)    Lafadz ijab dan qabul tidak boleh berubah;
9)    Tidak dikaitkan dengan sesuatu dan tidak dikaitkan dengan waktu.
c.    Imam Maliki
“bahwa jula beli itu telah sah dan dapat dilakukan secara dipahami saja.”
(Al-Qurthubi, hal. 128).
Syarat shighat menurut madzhab Maliki adalah :
1)    Tempat berlangsungnya akad harus bersatu;
2)    Pengucapan ijab dan qabul tidak boleh terpisah.

2.    Baligh dan Berakal
Artinya antara penjual dan pembeli keduanya sudah dewasa, karena itu anak-anak tidak sah melakukan jual beli , kecuali jual beli yang ringan.
Allah Swt berfirman :

وَلَاتُؤْتُواْالسُّفَهَٓاءَأَمْوَالَكُمُالَّتِيجَعَلَاللَّهُلَكُمْقِيٰمًا

Artinya : “Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan.”
(QS.An-nisa/4 :5)
 Maksud orang yang belum sempurna akalnya adalah anak yatim yang belum baligh atau orang dewasa yang jahil (tidak dapat mengatur harta bendanya).

3.    Beragama Islam
Syarat ini dikhususkan untuk pembeli dalam benda-benda tertentu, misalnya penjualan budak muslim kepada orang kafir dikhawatirkan budak muslim tersebut akan direndahkan atau dihina oleh majikannya karena itu pembeli budak muslim tersebut harus beragama islam.
Hal ini tertuang dalam firman Allah Swt :

 وَلَنْيَّجْعَلَاللّٰهُلِلْكٰفِرِيْنَ عَلَىالْمُؤْمِنِيْنَ سَبِيْلًا
 
Artinya : “Allah tidak akan memberi jalan kepada orang kafir untuk mengalahkan orang-orang beriman.”
(QS.An-nisa/4 :141)

4.    Suka sama suka
Antara penjual harus saling suka sama suka (rela/ridho) tanpa adanya paksaan. Penjual rela atau ridho untuk menjualkan barangnya tersebut kepada pembeli/rela dengan harga yang ditentukan, dan pembeli juga rela membeli barang dari penjual tersebut tanpa adanya paksaan dari si penjual.
Sesuai dengan firman Allah Swt :
         

                                  يٰٓأَيُّهَاالَّذِيْنَءَامَنُوْالَاتَأْكُلُوْٓااَمْوَالَكُمْبَيْنَكُمْبِالْبَاطِلِاِلَّٓااَنْتَكُوْنَتِجَارَةً
عَنْتَرَاضٍمِّنْكُمْ

Artinya  : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu makan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu...”
(QS. An-nisa/4 :29)
5.    Adanya obyek jual beli (Ma’kud alaih)
Dalam kegiatan jual beli pasti ada obyek yang diperjualbelikan entah itu barang ataupun jasa. Dalam islam, obyek jual beli telah diatur menurut ketentuan-ketentuan islam. Obyek tersebut boleh diperjualbelikan apabila telah memenuhi syarat sah yang telah ditentukan. Syarat sah obyek yang diperjualbelikan adalah sebagai berikut :
a.    Barang yan diperjualbelikan merupakan barang yang suci dan bukan barang haram;
b.    Barang tersebut berfaedah/bermanfaat;
c.    Barang tersebut kepunyaan sendiri atau penjual telah diberi kuasa atas barang tersebut oleh pemiliknya;
d.    Barang tersebut diketahui secara jelas oleh penjual dan pembeli dalam kadar, jenis, dan sifat-sifatnya;
e.    Barang tersebut bisa diserahkan baik dalam waktu cepat atau lambat.
E.   Hukum dan sifat jual beli
Jual beli memiliki sifat-sifat tertentu. Dalam hal sifat dan hukum jual beli, ada perbedaan pendapat dikalangan ulama, di antaranya sebagai berikut :
1.    Menurut Jumhur Ulama ada 2 macam hukum dan sifat jual beli, yaitu :
a.    Jual beli sah (shahih)
Yaitu jula beli yang memenuhi ketentuan syara’ yang berlaku dalam agama islam;
b.    Jual beli tidak sah
Yaitu jual beli yang tidak memenuhi salah satu rukun dan syarat jual beli.
2.    Menurut Ulama Hanafiyah, yaitu :
a.    Jual beli shahih
Adalah jual beli yang memiliki ketentuan syari’at islam;
b.    Jual beli batal
Yaitu jual beli yang tidak memenuhi salah satu rukun/yang tidak sesuai dengan syari’at islam;
c.    Jual beli fasid (rusak)
Yaitu jual beli yang sesuai dengan ketentuan syari’at pada asalnya, tetapi tidak sesuai dengan syari’at pada sifatnya.
F.    Jual beli yang dilarang dalam agama islam
1.    Jual beli yang tidak sah karena kurang syarat dan rukunnya adalah sebagai berikut :
a.    Jual beli yang menggunakan sistem ijon (belum jelas barangnya, keadaan barangnya, belum sempurna, dsb;
b.    Jual beli hewan, tetapi hewan tersebut masih dalam kandungan induknya;
c.    Jual beli sperma binatang jantan yang belum diketahui kadarnya. Adapun apabila meminjamkan hewan jantan untuk dikawinkan dengan hewan betina diperbolehkan atau bahkan sangat dianjurkan;
d.    Jual beli barang yang belum ada ditangan, artinya barang yang diperjualbelikan masih terdapat pada penjual pertama;
e.    Jual beli benda yang najis.
2.    Jual beli sah tetapi terlarang, sebagai berikut :
a.    Kegiatan Jual beli yang dilakukan pada saat shalat jum’at;
b.    Jual beli dengan niat untuk menimbun barang dan dijual ketika masyarakat membutuhkan (ikhtikar);
c.    Membeli dengan menghadang penjual di jalan, hal dimaksudkan agar si penjual tidak mengetahui  harga di pasar saat itu;
d.    Membeli barang yang masih dalam tawaran orang lain;
e.    Jual beli dengan menipu, seperti mengurangi timbangan;
f.     Jual beli alat-alat yang digunakan untuk melakukan maksiat.



Demikianlah penjelasan mengenai cara melakukan jual beli yang benar menurut syari’at islam, mudah –mudahan dapat bermanfaat dan bisa menambah wawasan keislaman bagi yang membaca artikel ini. Jika ada kesalahan dalam penulisan, tata bahasanya, dan sumber-sumber atau dalil-dalil mengenai jual beli saya mohon maaf.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.





 


Sumber :
§  Al-Islam 2(muamalah dan akhlak) karya A. Zainuddin, S. Ag. dan Muhammad Jamhari, S. Ag.
§  Alauddin al-Kasani, Bada’i ash Shana’l fi Tartib asy Syara’i, juz 5.
§  Ibnu Qudamah, al-Mughni, juz 3.
§  Muhammad asy-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, juz 2.
§  Kitab Al-Jazari, hal. 155

§  Al-Qurthubi, hal. 128